Minggu, 01 Agustus 2010

Kembalikan Mangrove ke Pantai Jakarta

Thursday, 01 July 2010
Reklamasi Pantai

Ikan melimpah ruah di kawasan perairan utara Jakarta. Dalam jarak 100 meter dari bibir pantai saja, para nelayan bisa menangkap ikan besar untuk menafkahi keluarganya. "Dengan modal jaring, kami bisa mendapatkan banyak ikan," kata Tiharom, 55 tahun, seorang nelayan di Marunda, Jakarta Utara.

Tapi itu kondisi 15 tahun silam. Kini tidak ada lagi ikan di perairan pantai utara Jakarta. Hal ini berlangsung sejak dilakukan reklamasi pantai, awal 1995. Warga di perkampungan nelayan Marunda pun tersingkir. "Kami tak bisa hidup sebagai nelayan," ujar Tiharom, sedih.

Kini, untuk mendapat ikan bagi keperluan makan keluarga saja, para nelayan harus menempuh jarak dua mil. Untuk menempuh jarak itu, tak mungkin lagi para nelayan mengandalkan perahu dayung. "Harus pakai perahu motor," tutur Tiharom.

Biaya melaut makin mahal, sedangkan hasil tangkapan semakin berkurang. Jika dulu satu nelayan cukup memiliki satu jaring tangkap sepanjang 300 meter, kini harus punya lima. "Itu pun hasil tangkapannya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dulu," kata Tiharom.

Tak hanya kehilangan ikan, anak-anak nelayan pun kehilangan tempat bermain. Air laut yang dulu biru kini berwarna cokelat, terkadang hitam atau putih susu tanda tercemar. Tak ada lagi anak nelayan yang berani mandi di laut seperti dulu. "Saya rasa, semua sudah berubah ke arah yang lebih buruk," kata Tiharom lagi.

Mimpi indah nelayan Marunda buyar lantaran dirampas ambisi pejabat Provinsi DKI Jakarta. Pada 1995, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bermimpi ingin menyejajarkan diri dengan kota pantai (waterfront city) di Asia Pasifik seperti Sidney, Singapura, dan Hong Kong. Maka, dibuatlah rencana pengembangan reklamasi kawasan pantai utara (pantura) Jakarta di lahan seluas 2.700 hektare.

Untuk mendukung rencana itu, dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995. Isinya menyatakan, reklamasi akan dilaksanakan di pantura Jawa. Keppres itu diperkuat dengan terbitnya Perda DKI Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

Dengan perda itu, maka kewenangan dan tanggung jawab reklamasi diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta. Perda DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010 juga ikut memberikan panduan kebijakan tentang reklamasi kawasan pantura Jakarta.

Kawasan pantai Jakarta yang terletak di Kota Madya Jakarta Utara itu direncanakan sebagian dari kawasan hasil reklamasi. Sebagian lagi merupakan kawasan daratan pantai lama. Proyek itu pun ditenderkan, dan Pemprov DKI Jakarta memilih enam perusahaan swasta untuk melaksanakan proyek tersebut.

Enam perusahaan itu adalah PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, PT Manggala Krida Yudha, Bakti Bangun Era Mulia, dan PT Taman Harapan Indah. Untuk itu, Badan Pelaksana Reklamasi (BPR) melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Namun rencana reklamasi itu tidak berjalan mulus.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 14 Tahun 2003. Kepmen ini menilai, amdal proyek reklamasi pantai utara itu tidak layak. KLH menilai, proyek itu akan menimbulkan beberapa masalah, seperti meningkatnya intensitas dan luasan genangan banjir.

Juga mengakibatkan kerusakan ekosistem laut, gangguan terhadap PLTU Muara Karang, penyediaan air bersih yang belum jelas, serta berpotensi memunculkan konflik dengan nelayan dan mencemari wilayah Kepulauan Seribu. Tetapi kepmen itu digugat para pemenang tender reklamasi ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Para pengembang dimenangkan majelis hakim PTUN. Lalu pihak KLH mengajukan banding ke pengadilan tinggi tata usaha negara (PT TUN). Namun lagi-lagi pengadilan memenangkan gugatan pemenang tender, dan KLH diminta mencabut kepmen itu. Kemudian KLH membawa perkara itu ke tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).

Selama kasus itu bergulir di pengadilan, Pemprov DKI tetap mengeluarkan izin pembangunan. Padahal, seharusnya proyek itu dinyatakan status quo dan sementara tidak boleh dilanjutkan karena amdalnya masih dipersoalkan di pengadilan. Atas izin dari Pemprov DKI itulah, para pengembang tetap melaksanakan reklamasi.

Akibatnya, kawasan pantai utara Jakarta kini ditumbuhi perumahan mewah, apartemen, tempat hiburan, dan kawasan industri. Yang bikin persoalan jadi pelik, ternyata di tingkat kasasi, majelis hakim MA mengabulkan permohonan kasasi dari KLH. Selain itu, MA juga membatalkan putusan PT TUN yang menguatkan putusan PTUN tanggal 11 Februari 2004.

Pembangunan kawasan pantai utara Jakarta itu dinilai ilegal. Tuntutan agar kawasan itu dikembalikan ke fungsinya semula sebagai kawasan mangrove pun mengemuka. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Carmelita Mamonto, mendesak agar kawasan itu dikembalikan ke fungsinya semula. "Pesisir utara itu semua sudah beralih fungsi. Hutan mangrove diganti dengan pembangunan gedung, dan itu tak menghasilkan apa-apa," katanya.

Pada 1980-an, kata Carmelita, kawasan itu masih baik dengan lindungan hutan mangrove, padang lamun, dan ekosistem karang. Dengan begitu, semua biota laut seperti ikan dan udang tumbuh subur karena mendapat makanan dari plankton yang hidup di bawah rawa bakau. Namun kini kawasan sepanjang 30 kilometer yang membentang dari Tangerang, Jakarta, hingga Bekasi itu rusak.

Kawasan mangrove, yang tadinya mencakup wilayah seluas 514 kilometer persegi, kini hanya tersisa seluas 3 kilometer persegi. Selain hancurnya ekosistem pesisir, reklamasi juga menghancurkan ekosistem sungai yang mengalir ke muara pesisir. Pesisir pantai utara Jakarta selama ini menjadi muara bagi 13 sungai.

Jika reklamasi itu berlanjut, menurut Carmelita, jarak aliran sungai tentu akan bertambah jauh. Akibatnya, air sungai akan cepat meluap. "Dan kembali, yang pertama menjadi korban adalah perumahan penduduk miskin," katanya. Karena itu, kata Carmelita, semua pembangunan di pantai utara harus dihentikan. "Bangunan yang sudah telanjur berdiri sebaiknya dirobohkan," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga wajib mengembalikan habitat asli kawasan pesisir dan menanami kembali hutan bakau. Itu jelas bukan pekerjaan mudah. Untuk mengembalikan kawasan ekosistem pesisir seperti dulu, diperlukan waktu setidaknya 20 tahun. Mengembalikan kawasan mangrove juga tak mudah karena peluang hidup bibit mangrove hanya 30%.

***

Harapan mewujudkan kawasan pesisir utara Jakarta kembali menjadi kawasan mangrove pun tambah sulit lantaran persoalan hukum yang membelit kawasan ini tak sederhana. "Kita harus baca baik-baik amar putusan, baru kita bisa tahu langkahnya," kata Deputi V Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penataan Lingkungan, Ilyas Asaad, kepada Gatra.

Yang rumit, kata dia, bila amar putusan menyatakan bahwa reklamasi pantai utara dilarang, sedangkan di sana sudah ada bangunan. "Padahal, dia juga punya dasar hukum dan legal karena ada izin di mana-mana dari pemda. Itu yang harus hati-hati menjawabnya, masak mau dibongkar," katanya.

Menurut Ilyas, ada dua hal yang harus diperhatikan dari putusan itu. Pertama adalah dasar-dasar hukum yang menguatkan pelarangan. Kedua, karena di wilayah itu sudah ada bangunan, harus dilihat dasar hukum apa yang membuat pengembang tetap melanjutkan pembangunan tersebut.

Setelah keluarnya putusan MA itu, KLH akan mempelajari dulu kawasan mana dari wilayah sepanjang 30 kilometer itu yang dinyatakan ilegal. "Apakah Ancol masuk tidak atau Kapuk masuk tidak. Lalu yang disebut reklamasi itu juga harus jelas," kata Ilyas.

Selain itu, pihaknya juga akan mempertegas apakah kawasan reklamasi yang dimaksud hanya di batasan air ataukah tanah rendah yang telah ditimbun juga disebut reklamasi.

Menyangkut keputusan pihak Pemprov DKI untuk mengajukan peninjauan kembali (PK), Ilyas mempersilakan langkah itu diambil. Tetapi tidak boleh menunda proses eksekusi yang akan dilakukan. "Kalau sudah ada amar putusan MA, beri waktu seminggu, saya bisa pelajari dan bisa ada keputusan langkah-langkah apa yang akan dilakukan," Ilyas menegaskan.

***

Jika Pemrov DKI sudah mengajukan PK, pihak pengembang tampaknya masih berpikir untuk mengambil tindakan hukum lanjutan. Kiky Da Gomez, Kepala Departemen Corporate Plan PT Pembangunan Jaya Ancol, salah satu pemenang tender reklamasi, menyatakan bahwa pihaknya masih mempelajari keputusan MA itu.

"Saya belum bisa menyampaikan langkah resmi menanggapi keputusan tersebut," kata Kiky Da Gomez kepada Haris Firdaus dari Gatra. Pihaknya baru akan mengambil tindakan setelah berkonsolidasi dengan tim biro hukum PT Pembangunan Jaya Ancol. "Sekarang kami konsolidasi internal dulu. Baru setelah itu sama-sama gabung dengan perusahaan lain yang sama-sama menggugat," katanya.

Menurut Kiky, pihaknya akan menaati setiap peraturan yang berlaku, termasuk jika kawasan itu tidak boleh dibangun. Sampai saat ini, pihak Pembangunan Jaya Ancol memang belum melakukan pembangunan wilayah Ancol Timur yang masuk rencana reklamasi, meski sudah ada izin dari Pemprov DKI.

Tadinya, di kawasan itu akan dibangun wahana rekreasi dan properti. "Ya, sama dengan Ancol yang sekarang ini," ujar Kiky Da Gomez. Hanya saja, eksekusi pembangunannya ditunda lantaran amdalnya digugat KLH.

***

Bagi Kepala Bidang Penegakan Hukum Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Ridwan Panjaitan, persoalan AMDAL itu sudah jelas lantaran telah ada persetujuan dari menteri. Hanya saja, sebelum persetujuan itu ditandatangani, ada pergantian menteri sehingga kemudian timbul perselisihan. Apalagi, putusan MA itu diambil berdasarkan pertimbangan hukum yang tidak berlaku lagi menyangkut amdal regional.

"Putusan MA itu tidak bisa menghentikan proses reklamasi di wilayah tersebut," kata Ridwan Panjaitan. Sebab putusan MA itu menganggap Kepmen Nomor 14/2003 sebagai keputusan yang sah. Padahal, menurut Ridwan, berdasarkan aturan terbaru, tidak lagi dikenal istilah amdal regional. "Amdal regional itu sudah almarhum," katanya.

Dasarnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Di situ tidak lagi ada istilah amdal regional. Aturan ini menggantikan PP Nomor 51 Tahun 1993 yang mencantumkan soal amdal regional. Ketika menyusun amdal untuk reklamasi pantai utara Jakarta, menurut Ridwan, BPR Pantura mulanya menggunakan dasar aturan itu.

Karena itu, BPR Pantura pun menyusun amdal regional yang meliputi lahan reklamasi seluas 2.700 hektare itu sejak 1996. "Proses penyusunannya makan waktu lama, sekitar empat tahun," tutur Ridwan. Setelah jadi sekitar tahun 2000, amdal regional itu kemudian dibicarakan dengan Menteri Lingkungan Hidup, yang ketika itu dijabat Sony Keraf, dan disetujui.

Sayangnya, sebelum ditandatangani pada 2001, Sony lengser dan digantikan Nabiel Makarim, yang kemudian menerbitkan kepmen yang membatalkan amdal itu. Pada saat hampir bersamaan, ternyata terjadi pergantian peraturan terkait amdal. Sehingga amdal regional yang disusun BPR Pantura itu sebenarnya tidak berlaku lagi.

Karena itu, masih menurut Ridwan, kalaupun sekarang amdal tersebut dinyatakan tidak sah berdasarkan keputusan MA, itu tidak mempengaruhi proses rekalamasi pantai utara Jakarta. Alasannya, proses reklamasi itu tidak lagi berdasarkan amdal regional, tapi berdasarkan amdal proyek.

Maksudnya, perusahaan hendak melakukan reklamasi dengan luasan lahan tertentu tidak lagi bergantung pada keberadaan amdal regional. Cukup dengan membuat amdal proyek rekalamasi yang akan dijalankannya. Perizinan amdal proyek ini ada di pemerintah provinsi. Atas dasar itulah, Pemprov DKI mengeluarkan izin pembangunan.

Selain itu, proses reklamasi juga punya dasar hukum kuat. Dasar hukum itu adalah Keppres Nomor 52 Tahun 1995, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995, dan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. "Jadi, dari segi peraturan dan undang-undang, reklamasi itu tidak haram," kata Ridwan.

M. Agung Riyadi, Birny Birdieni, dan Eko Rusdianto
[Nasional, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 10 Juni 2010]

Sumber: http://gatra.com/artikel.php?id=138785

Tidak ada komentar:

Posting Komentar